Jumat, 29 Juni 2012

APLIKASI DEMOKRASI SESUAI ISLAM



Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas, pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik, rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik, tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.
Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Islam. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki hak untuk membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer. Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas diakui bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah adalah berdasarkan kerangka fondasi konstitusional dan pluralistik yang juga melibatkan non-muslim.
Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. UmatIslam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan petunjuk Islam dan presiden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalamIslam.
Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab dan berfungsi sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah al-Muslimin (representatif umatIslam) sekaligus.
Poin ini memerlukan kajian lebih lanjut karena adanya mispersepsi tentang kedaulatan (sovereignty): bahwa kedaulatan Islam adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan kedaulatan dalam demokrasi adalah milik rakyat. Anggapan atau interpretasi ini jelas naif dan salah. Memang, Tuhan merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia telah memberikan kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di dunia.
Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di dunia. Dia telah menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan untuk membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi dan implementasinya adalah profan.
Apabila terjadi konflik antara masyarakat dan pemimpin, seperti mayoritas masyarakat tidak menginginkan sistem Islam, maka kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam Islam. Karena tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan fondasi Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan.
Pada karakter fundamental yang didasarkan pada poin-poin di atas, tidak ada konflik antara demokrasi dan sistem politik Islam, kecuali bahwa dalam sistem politik Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya Islami apabila tindak tanduknya bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian umum bertentangan dengan Islam; sebaliknya, umat harus menyambut sistem demokrasi.
Sepanjang perjalanan politik di Indonesia, sebenarnya pembahasan seputar Islam dan demokrasi mengalami pasang surut dan tarik-menarik dengan frekuensi yang berbeda. Sebut saja, banyak kalangan pemikir-pemikir Muslim Indonesia bersilang berpendapat tentang Islam dan demokrasi. Tapi yang perlu di garis bawahi, kontroversi tersebut sangat wajar terjadi karena, pertama, itu semua adalah sebuah lahan jihad manusia yang mencoba memahami doktrin al-Qur`an yang berbicara secara prinsip dan tidak ada dalil (al-Qur`an maupun Sunnah) yang tegas mengatakan bentuk hubungan Islam dan demokrasi. Kedua, dari proses lahirnya Islam dan demokrasi muncul dari belahan dunia yang sangat berbeda. Islam pada awalnya turun di bagian Timur, sedangkan demokrasi lahir dan besar di dunia Barat.
Untuk melihat perkembangan Islam dan demokrasi yang terjadi di Indonesia, ada tiga model yang dapat kita klasifikasikan. Pertama, mayoritas masyarakat Islam dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan demokrasi. Ada beberapa tokoh Muslim yang menganggap bahwa Islam memiliki hubungan yang baik dengan demokrasi. Demokrasi inheren atau bagian integral dalam Islam, untuk itu, demokrasi tidak perlu dijauhi. Hubungan Islam dan demokrasi semacam ini bisa disebut dengan hubungan simbiosis-mutualisme. Hubungan Islam dan demokrasi tidak terpisahkan sama sekali. Dalam pandangan ini, Islam dianggap sebagai doktrin (Islam asli), yakni Islam sebagai teks al-Qur`an atau lebih umum sebagai tradisi otoritatif. Islam bukanlah agama sebagaimana diartikan kalangan Barat. Islam dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia. Dengan alasan ini, maka kalangan masyarakat Muslim ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupannya, termasuk dalam urusan politik maupun demokrasi, pada ajaran Islam.
Kedua, sebagian masyarakat menegaskan bahwa ada hubungan yang canggung antara Islam dan demokrasi. Mereka menjadi wakil para pendukung yang mengatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi. Hubungan Islam dan demokrasi dipandang saling bermusuhan. Islam dan demokrasi tidak ada hubungan sama sekali. Dalam Islam tidak ada konsep demokrasi karena demokrasi berasal dari Barat yang dianggap kelompok ini sebagai kalangan sekular. Tetapi kemudian karena adanya tekanan dari penjajah Barat dan terjadinya pendangkalan pemahaman Islam (menjadi hanya sekedar pesan-pesan moral kehidupan) maka timbullah pengakomodasian nilai-nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Sebagian kaum muslimin, terutama kaum muslimin yang merasa lelah berjuang melawan kezaliman bangsa Barat yang menjajah mereka, justru mulai melihat bahwa demokrasi dapat dimanfaatkan untuk memperjuangkan nasib mereka. Mereka mulai ‘menutup mata’ terhadap perbedaan antara nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Mereka hanya mau melihat ‘seolah-olah’ ada persamaan di antara keduanya. Akhirnya tak sedikit kaum muslimin yang menerima gagasan demokrasi, namun berbeda dari makna yang sesungguhnya terdapat pada lafazh tersebut.
Ketiga, sebagian masyarakat Islam lainnya menerima adanya hubungan Islam dan demokrasi, sekaligus memberi catatan-catatan penting secara kritis. Islam bisa menerima adanya hubungan demokrasi, namun dengan beberapa catatan penting. Hubungan Islam dan demokrasi semacam ini ditandai dengan proses saling mempelajari posisi masing-masing yang bersifat lentur dan fleksible. Islam dan demokrasi adalah sesuatu yang incompatible. Yaitu, kalangan pemikir Islam melihat bahwa antara Islam dan demokrasi terdapat beberapa kesamaan, dan sekaligus juga ada perbedaan.
Melihat tiga bentuk hubungan Islam dan demokrasi di atas, maka model yang ketigalah bisa kita katakan bahwa antara Islam dan demokrasi tersebut sama tapi beda. Karena membedakan antara demokrasi yang berasal dari Barat dengan Islam. Dalam Islam terdapat nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, semisal al-Adalah, al-Musawa, al-Syura, dan lainnya. Nah, sekalipun nilai dan prinsip ini memiliki kesamaan dengan demokrasi ala barat, tapi dalam aplikasinya tentu berbeda.
konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1.      Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama
2.      Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3.      Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4.      Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam   musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5.      Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6.      Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7.      Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

Agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
-     Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
-     Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar