Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai
“pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas, pemerintahan di mana
kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung
atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan
dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik, rakyat umum
khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik, tiadanya distingsi kelas
atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Islam tidak hanya kompatibel
dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih
penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita
dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan
bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif,
memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi
Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa
al-Rasyidin) di sisi lain.
Pertama, konstitusional.
Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang
`’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the
governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan
dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan
lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Islam.
Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki hak untuk membuang atau
mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak dapat berbentuk
pemerintahan otokratik, monarki atau militer. Sistem pemerintahan semacam itu
adalah pada dasarnya egalitarian, dan egalitarianisme merupakan salah satu ciri
tipikal Islam. Secara luas diakui bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah
adalah berdasarkan kerangka fondasi konstitusional dan pluralistik yang juga
melibatkan non-muslim.
Kedua, partisipatoris. Sistem
politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan
institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris.
Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis
partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. UmatIslam
dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan petunjuk Islam dan
presiden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki proses-proses itu. Aspek
partisipatoris ini disebut proses Syura dalamIslam.
Ketiga, akuntabilitas. Poin ini
menjadi akibat wajar esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris.
Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka
Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis
bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran praksis
akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala
negara bertanggung jawab dan berfungsi sebagai Khalifah al-Rasul (representatif
rasul) dan Khalifah al-Muslimin (representatif umatIslam) sekaligus.
Poin ini memerlukan kajian lebih
lanjut karena adanya mispersepsi tentang kedaulatan (sovereignty): bahwa
kedaulatan Islam adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan kedaulatan dalam
demokrasi adalah milik rakyat. Anggapan atau interpretasi ini jelas naif dan
salah. Memang, Tuhan merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia
telah memberikan kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di dunia.
Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di dunia. Dia telah menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan untuk membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi dan implementasinya adalah profan.
Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di dunia. Dia telah menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan untuk membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi dan implementasinya adalah profan.
Apabila terjadi konflik antara
masyarakat dan pemimpin, seperti mayoritas masyarakat tidak menginginkan sistem
Islam, maka kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak
dikehendaki oleh masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam Islam. Karena
tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan fondasi
Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan.
Pada karakter fundamental yang
didasarkan pada poin-poin di atas, tidak ada konflik antara demokrasi dan sistem
politik Islam, kecuali bahwa dalam sistem politik Islam orang tidak dapat
mengklaim dirinya Islami apabila tindak tanduknya bertentangan dengan Islam.
Itulah mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian
umum bertentangan dengan Islam; sebaliknya, umat harus menyambut sistem
demokrasi.
Sepanjang perjalanan politik di
Indonesia, sebenarnya pembahasan seputar Islam dan demokrasi mengalami pasang
surut dan tarik-menarik dengan frekuensi yang berbeda. Sebut saja, banyak
kalangan pemikir-pemikir Muslim Indonesia bersilang berpendapat tentang Islam
dan demokrasi. Tapi yang perlu di garis bawahi, kontroversi tersebut sangat
wajar terjadi karena, pertama, itu semua adalah sebuah lahan jihad manusia yang
mencoba memahami doktrin al-Qur`an yang berbicara secara prinsip dan tidak ada
dalil (al-Qur`an maupun Sunnah) yang tegas mengatakan bentuk hubungan Islam dan
demokrasi. Kedua, dari proses lahirnya Islam dan demokrasi muncul dari belahan
dunia yang sangat berbeda. Islam pada awalnya turun di bagian Timur, sedangkan
demokrasi lahir dan besar di dunia Barat.
Untuk melihat perkembangan Islam
dan demokrasi yang terjadi di Indonesia, ada tiga model yang dapat kita
klasifikasikan. Pertama, mayoritas masyarakat Islam dengan tegas mengatakan
bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan demokrasi. Ada beberapa tokoh Muslim
yang menganggap bahwa Islam memiliki hubungan yang baik dengan demokrasi.
Demokrasi inheren atau bagian integral dalam Islam, untuk itu, demokrasi tidak
perlu dijauhi. Hubungan Islam dan demokrasi semacam ini bisa disebut dengan
hubungan simbiosis-mutualisme. Hubungan Islam dan demokrasi tidak terpisahkan
sama sekali. Dalam pandangan ini, Islam dianggap sebagai doktrin (Islam asli),
yakni Islam sebagai teks al-Qur`an atau lebih umum sebagai tradisi otoritatif.
Islam bukanlah agama sebagaimana diartikan kalangan Barat. Islam dipandang
sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia. Dengan alasan ini, maka
kalangan masyarakat Muslim ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupannya,
termasuk dalam urusan politik maupun demokrasi, pada ajaran Islam.
Kedua, sebagian masyarakat
menegaskan bahwa ada hubungan yang canggung antara Islam dan demokrasi. Mereka
menjadi wakil para pendukung yang mengatakan bahwa Islam bertentangan dengan
demokrasi. Hubungan Islam dan demokrasi dipandang saling bermusuhan. Islam dan
demokrasi tidak ada hubungan sama sekali. Dalam Islam tidak ada konsep
demokrasi karena demokrasi berasal dari Barat yang dianggap kelompok ini
sebagai kalangan sekular. Tetapi kemudian karena adanya tekanan dari penjajah
Barat dan terjadinya pendangkalan pemahaman Islam (menjadi hanya sekedar
pesan-pesan moral kehidupan) maka timbullah pengakomodasian nilai-nilai
demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Sebagian kaum muslimin, terutama kaum muslimin
yang merasa lelah berjuang melawan kezaliman bangsa Barat yang menjajah mereka,
justru mulai melihat bahwa demokrasi dapat dimanfaatkan untuk memperjuangkan
nasib mereka. Mereka mulai ‘menutup mata’ terhadap perbedaan antara nilai
demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Mereka hanya mau melihat ‘seolah-olah’ ada
persamaan di antara keduanya. Akhirnya tak sedikit kaum muslimin yang menerima
gagasan demokrasi, namun berbeda dari makna yang sesungguhnya terdapat pada
lafazh tersebut.
Ketiga, sebagian masyarakat
Islam lainnya menerima adanya hubungan Islam dan demokrasi, sekaligus memberi
catatan-catatan penting secara kritis. Islam bisa menerima adanya hubungan
demokrasi, namun dengan beberapa catatan penting. Hubungan Islam dan demokrasi
semacam ini ditandai dengan proses saling mempelajari posisi masing-masing yang
bersifat lentur dan fleksible. Islam dan demokrasi adalah sesuatu yang
incompatible. Yaitu, kalangan pemikir Islam melihat bahwa antara Islam dan
demokrasi terdapat beberapa kesamaan, dan sekaligus juga ada perbedaan.
Melihat tiga bentuk hubungan
Islam dan demokrasi di atas, maka model yang ketigalah bisa kita katakan bahwa
antara Islam dan demokrasi tersebut sama tapi beda. Karena membedakan antara
demokrasi yang berasal dari Barat dengan Islam. Dalam Islam terdapat
nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, semisal al-Adalah, al-Musawa,
al-Syura, dan lainnya. Nah, sekalipun nilai dan prinsip ini memiliki kesamaan
dengan demokrasi ala barat, tapi dalam aplikasinya tentu berbeda.
konsep demokrasi tidak
sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi
tersebut harus berada di bawah payung agama
2. Rakyat
diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan
keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara
mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama
dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu
Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum
yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah
hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu
dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah
atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang
sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk
hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum
dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Agar sistem
atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus
dilakukan:
- Seluruh warga atau sebagian
besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang
mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
- Parlemen atau lembaga
perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang
memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar