Sistem kartelisasi partai politik sangat populer di
era pemilu 2004. Partai-partai politik bergabung dengan pola interaksi yang
seragam demi mencapai kepentingan bersama. Isu keagamaan dalam politik sangat
menarik untuk dijadikan bahasan mengenai kartelisasi dibanding dengan isu
politik lain yang abstrak dan kurang menyangkut kepentingan rakyat. Interaksi
antar partai dapat dilihat secara tegas melalui munculnya isu keagamaan.
Partai-partai Islam menggeser sedikit haluan ideologisnya yang semula Islam
menjadi lebih sekuler-keagamaan. Walau terjadi beberapa friksi dalam tubuh
partai, namun penggerseran ideologi tersebut harus dilakukan agar partai dapat
melakukan pertautan dengan partai lain yang sama ideologinya. Sistem inilah
yang akhirnya disebut kartelisasi.
Kartelisasi muncul akibat terjadinya kesepakatan antar
partai yang mengorbankan prinsip-prinsip pihak yang terkait. Partai-partai
peserta pemilu 2004 bahkan mengabaikan ideologi masing-masing sehingga secara
tidak langsung mengaburkan oposisi dan mulai membentuk koalisi dengan parpol
lain secara permisif, serta mereka tidak mengedepankan hasil pemilu sebagai
penentu koalisi.
Menjelang pilpres 2004 putaran pertama, partai-partai
politik mulai menjalin koalisi. Hal tersebut dikarenakan Undang-undang baru
yang menetapkan calon Presiden yang diusung adalah perwakilan dari parpol
dengan minimal tiga persen kursi parlemen atau lima persen dari total suara.
Begitu pula ide akan koalisi tersebut muncul karena partai yang tidak memenuhi
kriteria diatas diperbolehkan mengajukan calon jika dapat membentuk koalisi
yang memenuhi ketentuan diatas. Sistem koalisi ini disebut dengan koalisi
kemenangan minimal.
Persaingan antar partai akan berakhir dengan cara yang
sama, pemilu diakhiri dengan munculnya koalisi baru dengan sistem koalisi
turah. Koalisi dengan sistem ini akan mewarnai dalam pemilihan jabatan-jabatan
strategis seperti ketua DPR dan pembentukan kabinet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar