Jumat, 29 Juni 2012

Kartelisasi Partai Politik


Sistem kartelisasi partai politik sangat populer di era pemilu 2004. Partai-partai politik bergabung dengan pola interaksi yang seragam demi mencapai kepentingan bersama. Isu keagamaan dalam politik sangat menarik untuk dijadikan bahasan mengenai kartelisasi dibanding dengan isu politik lain yang abstrak dan kurang menyangkut kepentingan rakyat. Interaksi antar partai dapat dilihat secara tegas melalui munculnya isu keagamaan. Partai-partai Islam menggeser sedikit haluan ideologisnya yang semula Islam menjadi lebih sekuler-keagamaan. Walau terjadi beberapa friksi dalam tubuh partai, namun penggerseran ideologi tersebut harus dilakukan agar partai dapat melakukan pertautan dengan partai lain yang sama ideologinya. Sistem inilah yang akhirnya disebut kartelisasi.
Kartelisasi muncul akibat terjadinya kesepakatan antar partai yang mengorbankan prinsip-prinsip pihak yang terkait. Partai-partai peserta pemilu 2004 bahkan mengabaikan ideologi masing-masing sehingga secara tidak langsung mengaburkan oposisi dan mulai membentuk koalisi dengan parpol lain secara permisif, serta mereka tidak mengedepankan hasil pemilu sebagai penentu koalisi.
Menjelang pilpres 2004 putaran pertama, partai-partai politik mulai menjalin koalisi. Hal tersebut dikarenakan Undang-undang baru yang menetapkan calon Presiden yang diusung adalah perwakilan dari parpol dengan minimal tiga persen kursi parlemen atau lima persen dari total suara. Begitu pula ide akan koalisi tersebut muncul karena partai yang tidak memenuhi kriteria diatas diperbolehkan mengajukan calon jika dapat membentuk koalisi yang memenuhi ketentuan diatas. Sistem koalisi ini disebut dengan koalisi kemenangan minimal.
Persaingan antar partai akan berakhir dengan cara yang sama, pemilu diakhiri dengan munculnya koalisi baru dengan sistem koalisi turah. Koalisi dengan sistem ini akan mewarnai dalam pemilihan jabatan-jabatan strategis seperti ketua DPR dan pembentukan kabinet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar