Penolakan
ratifikasi yang dilakukan oleh Perancis dan Belanda terhadap Contitutional
Treaty pada tahun 2004, dilakukan bukan
semata-mata karena ketakutan terhadap lunturnya identitas bangsa, seperti yang
telah dikemukakan di media. Akan tetapi banyak faktor yang melatarbelakangi
gagalnya proses ratifikasi ini. Konstitusi Eropa dibentuk dengan tujuan untuk
mengintegrasikan kepentingan warga Eropa, akan
tetapi keinginan Eropa untuk membentuk
konstitusi yang bermula pada tahun 2004 tersebut sangat sulit dilaksanakan.
Saya meyakini bahwa Uni Eropa akan dapat
meneruskan visi misinya dengan atau tanpa konstitusi karena Uni Eropa merupakan regionalism paling sempurna
di dunia. Dikatakan paling sempurna
karena Uni Eropa sendiri telah melalui 6 tahapan integrasi ekonomi dan hal
tersebut sudah mengukuhkan posisi Uni Eropa di mata dunia. Akan tetapi laju
integrasi ekonomi Uni Eropa tampaknya tidak tidak sejalan dengan laju integrasi
politiknya, dilihat dari sisi integrasi politik maka Uni Eropa terlihat sebagai
regionalism yang sebenarnya rapuh. Ketidaksepahaman yang muncul antara negara
anggota menyebabkan rumitnya proses ratifikasi konstitusi Uni Eropa yang juga
mengartikan bahwa integrasi politik regional sulit tercapai. Dalam menanggapi
isu diatas saya mencoba untuk mengulas beberapa penyebab gagalnya ratifikasi
konstitusi Uni Eropa. Maka saya akan memusatkan
fokus pada 3 argumen yaitu ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah nasional, anggapan bahwa konstitusi
mencampuri kedaulatan negara dan ketidakpuasan rakyat terhadap isi konstitusi.
Penolakan ratifikasi konstitusi Uni
Eropa oleh Perancis dan Belanda menimbulkan efek domino bagi eksistensi dan
legitimasi konstitusi di mata negara lain. Dapat
terlihat dari referendum rakyat Perancis pada tahun 2005 yang menyatakan tolakan terhadap
konstitusi diikuti oleh Belanda yang juga menolak konstitusi tersebut, sehingga
pembahasan mengenai isu ini ditangguhkan. Perancis dan Belanda
yang notabene adalah negara perintis Uni Eropa
ternyata gagal meratifikasi
konstitusi, hal ini menimbulkan stigma buruk bagi
negara lain dalam isu ratifikasi ini. Momen ini ditakutkan dapat menjadi contoh bagi
negara lain untuk mengagalkan
ratifikasi seperti yang dilakukan oleh Perancis.[1]
Alasan pertama kegagalan
ratifikasi adalah ketidakpuasan rakyat terhadap
pemerintah dalam negeri ditunjukkan oleh masyarakat Perancis dan Belanda. Studi
kasus Perancis adalah dimana
rakyat tidak puas dengan pemerintahan Jaques
Chirac. Chirac
dianggap tidak dapat mengatasi
masalah pengangguran yang disebabkan oleh kecenderungan
ekonomi yang mengarah pada pasar bebas. Tingkat pengangguran
sangat tinggi, mencapai 10% dari total penduduk Perancis.[2] Mekanisme
pasar bebas selama ini merugikan rakyat kecil dan hanya memberikan keuntungan
bagi elit. Ketidakpuasan masyarakat Perancis tersebut menjadi alasan untuk
menolak konstitusi UE.
Saya meyakini bahwa, mayoritas rakyat Uni Eropa merasakan hal
sama, yaitu tidak puas dengan pemerintahnya. Dalam
hal ini tidak hanya Perancis yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi, di
beberapa Negara seperti Jerman, Italia, dan Belgia bahkan mengalami tingkat
pengangguran sebessar 9,1%.[3] Jika melihat penilaian
masyarakat Eropa terhadap kecenderungan ekonomi UE yang mengarah pada pasar
bebas, mereka beranggapan bahwa pasar bebas menciptakan lapangan kerja
di luar Uni Eropa. Dalam neraca perdagangan, mekanisme
seperti ini akan menyebabkan hilangnya banyak pekerjaan. Melihat
beberapa uraian diatas, saya berpendapat bahwa kebijakan perdagangan dan
ekonomi Uni Eropa tidak mencerminkan kepentingan Uni
Eropa
sebagai kekuatan dunia dengan menciptakan lapangan kerja atau keuntungan yang
seharusnya dapat dinikmati
seluruh Negara anggotanya. Selalu ada pihak yang dirugikan akibat pasar bebas karena tingkat
persaingan dalam ekonomi pasar bebas semakin ketat. Masyarakat akan merasa
khawatir dengan masa depan pekerjaan mereka. Kekhawatiran ini menyebabkan
masyarakat enggan menyetujui ratifikasi konstitusi UE
dan mereka menganggap konstitusi baru semakin membuka peluang terbukanya pasar
bebas. Apabila hal ini diteruskan maka rakyat khawatir negara akan mengalami
kerugian.
Alasan kedua bagi gagalnya
ratifikasi konstitusi Uni Eropa adalah anggapan bahwa konstitusi mencapuri
kedaulatan Negara. Uni Eropa merupakan regionalisme
yang telah diperkuat dengan integrasi ekonomi, tahapan integrasi tersebut dapat
dijelaskan menggunakan konsep bicycle theory[4]
dimana Uni Eropa telah berhasil menjalani tahapan integrasi dari single market hingga akhirnya mencapai single currency. Dalam konteks integrasi politik, tahapan yang saat ini sedang dilalui sudah semakin menyinggung
masalah kedaulatan negara anggota. Sesuai dengan isi konstitusi UE
pada pasal 15 mengenai The common policy and security policy, parlemen Eropa akan
memiliki kekuasaan lebih besar dalam proses pembuatan hukum, sedangkan parlemen
negara akan mengalami pengurangan kekuasaan.
Dahulu, ketika Uni Eropa masih berupaya mewujudkan integrasi ekonomi dimulai dengan mengupayakan penciptaan single market. Pasar tunggal Eropa tersebut menganjurkan UE agar memiliki mata uang bersama. Kemudian, UE mengeluarkan Euro sebagai mata uang bersama. Meskipun Inggris, Denmark, dan Swedia tidak mengadopsi Euro, tahapan Euro sebagai mata uang eropa merupakan tahapan berikutnya yang harus dilalui untuk menuju integrasi ekonomi UE. Hal yang sama juga dapat terjadi dalam masalah ratifikasi konstitusi ini. Ketika konstitusi selesai diratifikasi, maka, bukan tidak mungkin jika kemudian, parlemen Eropa mengambil alih masalah perpajakan dan kebijakan luar negeri. Padahal, masalah perpajakan dan kebijakan luar negeri merupakan bagian dari permasalahan kedaulatan nasional. Ratifikasi konstitusi di khawatirkan akan mengalami fase yang sama, sebaiknya adakalanya negara di beri hak veto untuk menyelesaikan permaslahan politik luar negeri mereka sendiri. Mengacu pada konsep diatas dinyatakan bahwa laju integrasi ekonomi digambarkan sebagi kayuhan sepeda yang cepat sedangkan integrasi politik adalah laju yang lambat.
Dahulu, ketika Uni Eropa masih berupaya mewujudkan integrasi ekonomi dimulai dengan mengupayakan penciptaan single market. Pasar tunggal Eropa tersebut menganjurkan UE agar memiliki mata uang bersama. Kemudian, UE mengeluarkan Euro sebagai mata uang bersama. Meskipun Inggris, Denmark, dan Swedia tidak mengadopsi Euro, tahapan Euro sebagai mata uang eropa merupakan tahapan berikutnya yang harus dilalui untuk menuju integrasi ekonomi UE. Hal yang sama juga dapat terjadi dalam masalah ratifikasi konstitusi ini. Ketika konstitusi selesai diratifikasi, maka, bukan tidak mungkin jika kemudian, parlemen Eropa mengambil alih masalah perpajakan dan kebijakan luar negeri. Padahal, masalah perpajakan dan kebijakan luar negeri merupakan bagian dari permasalahan kedaulatan nasional. Ratifikasi konstitusi di khawatirkan akan mengalami fase yang sama, sebaiknya adakalanya negara di beri hak veto untuk menyelesaikan permaslahan politik luar negeri mereka sendiri. Mengacu pada konsep diatas dinyatakan bahwa laju integrasi ekonomi digambarkan sebagi kayuhan sepeda yang cepat sedangkan integrasi politik adalah laju yang lambat.
Alasan ketiga adalah
ketidakpuasan rakyat terhadap isi konstitusi. Isi konstitusi UE dinilai
merugikan masyarakat Eropa. Konstitusi tersebut berisi antara lain; pengaturan
perihal perubahan mekanisme pengambilan suara, pemberian kekuasaan yang lebih
besar pada parlemen UE, dan pembatasan terhadap hal-hal yang boleh diveto oleh
negara anggota . Pada dasarnya, konstitusi UE membuat negara anggota harus
merelakan sebagian kekuasaannya kepada UE. Oleh karenanya, masyarakat Eropa
menolak ratifikasi konstitusi tersebut. Beberapa literatur
menjelaskan bahwa identitas Eropa mulai tumbuh di antara masayarakat Eropa.
Tetapi pada kenyataannya, identitas nasional belum bisa dilepaskan begitu saja.
Kebanyakan dari masyarakat Eropa yang telah merasa bahwa mereka adalah orang
Eropa, masih menempatkan identitas nasional di atas identitas ke-Eropa-annya .
Ketika masyarakat Eropa belum menempatkan identitas Eropa di atas identitas
nasional, sedangkan konstitusi UE yang ada dinilai merugikan identitas nasional,
maka ratifikasi konstitusi UE akan mengalami kesulitan.
Wake up call yang diharapkan warga Eropa tidak sekadar
pemberian hak bersuara bagi masyarakat. Akan tetapi penghargaan atas aspirasi
masyarakat dan semua itu diharapkan dapat menjasi bagian input dalam decision making procces
Parlemen Eropa. Parlemen Eropa sebagai dewan
perwakilan masyarakat
Eropa dinilai belum
dapat menjalankan fungsi perwakilannya dengan baik, maka dari itu warga menilai
suatu bentuk yang percuma apabila UE membuat suatu konsitutsi akan tetapi tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk bersikap
demokratis. Arti penting konstitusi Eropa bagi masyakat
eropa adalah sebagai legitimting effect
yang berfungsi seagai media alokasi
kekuasaan dan allowing partisipation.[5]
Pada hakikatnya masyarakat mengharapkan konstitusi yang ada sebagai penjamin
kesatuan prses hukum dalam pemerintah melalui separtion of
power.
Rumitnya proses ratifikasi
yang disebabkan oleh tiga factor diatas, dapat diatas dengan cara mengendapkan
emosi warga Eropa terlebih dahulu untuk selanjutkan memberlakukan wake up call
seperti yng diingnkan warga Eropa
sejak dahulu. Aspirsi
yang tidak ditampung menyebabkan warga kecewa terhadap para elit politk Uni Eropa. Ketidaksetujuan warga
Eropa bukan semata-mata pada alasan konstitusi akn membuyarkan legitimasi Negara
akan tetapi kekecewaan muncul terhadap kinerja para elit yang tidak
memberlakukan demokrasi dalam Uni eropa.
Terlepas
dari alasan-alasan diatas, Uni Eropa sebenaranya akan mampu untuk terus
berjalan tanpa adanya suatu konstitusi tertulis. Uni Eropa dinilai telah
memiliki konstitusi apabila dilihat dari fungsi yang telah dijalankan selama
ini, pendapat ini dikemukakan oleh kelompok fungsionalis yang melihat
bahwa ternyata selama ini perjanjian
perjanjian yang sudah terbentuk dalam Uni Eropa telah membentuk Uni Eropa
dengan konstitusi yang tidak tertulis dan masyarakat tidak menyadari hal
tersebut.
Referensi :
Deardorffs' Glossary of International Economics, <http://www-personal.umich.edu/~alandear/glossary/b.html>, diakses 15 Juni 2012.
New York The Sun, French ‘Non’ Has
Domino Effect (online), 31 May 2005, <http://www.nysun.com/foreign/french-non-has-domino-effect/14606/>,
diakses 15 Juni 2012.
Archick,
Kristin. The European Union’s Constitution. 27 Desember 2005. <http://fpc.state.gov/documents/organization/61531.pdf>.
diakses 20 Juni 2012.
Cannizzaro, Enzo. EU Law and National Constitution A Pluralist
Constitution for a Pluralist Legal Order ?, National Report Italy. <http://www.astrid-online.it/Riforma-de/Studi-e-ri/Archivio-2/CANNIZZARO.PDF>.
diakses 15 Juni 2012.
W.
Matthews dan Robert Driver, LABOR
MARKETS: FACTORS DRIVING
UNEMPLOYMENT
RATES IN INDUSTRIAL NATIONS, <http://www.ser.tcu.edu/2008-Pro/SEP2008%20Matthews%20Driver%207-10.pdf>, diakses 20 Juni 2012.
[1] New York The Sun, French ‘Non’ Has Domino Effect
(online), 31 May 2005, <http://www.nysun.com/foreign/french-non-has-domino-effect/14606/>,
diakses 15 Juni 2012.
UNEMPLOYMENT RATES IN INDUSTRIAL NATIONS, <http://www.ser.tcu.edu/2008-Pro/SEP2008%20Matthews%20Driver%207-10.pdf>, diakses 20 Juni 2012.
[4] Suatu konsep dalam
perdagangan bebas multilateral dimana dalam suatu proses integrasi akan
melewati beberapa tahapan dan apabila dalam suatu tahapan tersebut terhenti
maka keseluruhan proses akan terhenti. Deardorffs' Glossary of International Economics, <http://www-personal.umich.edu/~alandear/glossary/b.html>, diakses 15 Juni 2012.
[5] E. Cannizzaro, EU Law and
National Constitution A Pluralist Constitution for a Pluralist Legal Order ?,
National Report Italy, hal 2, <http://www.astrid-online.it/Riforma-de/Studi-e-ri/Archivio-2/CANNIZZARO.PDF>,
diakses 15 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar